SUARA PAREPARE - Pemilihan umum (Pemilu) merupakan agenda rutin yang diadakan setiap lima tahun sekali di Indonesia.
Dalam pemilu warga negara akan memilih wakil rakyat atau pejabat secara langsung sebagai manifestasinya dalam pemerintahan nanti.
Sehingga pemilu sering dianggap sebagai harapan untuk menghasilkan pemerintahan yang baik (good governance), rakyat yang sejahtera dan masyarakat adil makmur.
Namun dalam perjalannya, proses pemilu seperti pemilihan presiden (pilpres), pemilihan legislatif (pileg) sering disikapi secara berlebihan oleh sebagian besar rakyat hanya karena perbedaan pilihan. Sebagai contoh pada pemilihan presiden tahun 2019 silam.
Baca Juga:
Pada saat itu masyarakat terpolarisasi sehingga masing-masing dari masyarakat ada yang disebut sebagai cebong dan juga kampret. Sebuah realitas sosial yang tidak dapat terhindarkan dan akan teringat dalam alam bawah sadar masyarakat sebagai sejarah perjalanan bangsa yang kelam.
Jika melihat pengalaman tersebut, pada tahun 2024 yang merupakan jadwal akan dilaksanakannya kembali pemilu tidak menutup kemungkinan akan terjadi hal yang serupa. Jika dibiarkan potensi untuk menjadi masalah sosial dalam masyarakat akan semakin besar.
Merujuk pada pengertian Soerjono Soekanto (2004) masalah social merupakan gejala-gejala abnormal (tidak normal) yang ada dalam masyarakat. Gejala normal dan tidak normal dalam masyarakat tersebut terjadi karena ada unsur-unsur di masyarakat yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Dalam konteks pilpres 2019 unsur-unsur masyarakat paling bawah yakni individu merasa bahwa pilihannya adalah paling benar untuk menjadi seorang pemimpin. Sehingga menganggap yang bukan pilihannya adalah salah. Pada akhirnya pola bermasyarakat seperti dengan tetangga, saudara menjadi terganggu. Dengan kata lain masyarakat mengalami kesakitan (patologi).
Patologi sosial menurut Kartini Kartono (1992) didefinisikan sebagai semua tingkah laku yang bertentangan dengan norma kebaikan, stabiitas lokal, pola kesederhanaan, moral hak milik, solidaritas keluarga, hidup rukun bertetangga, disiplin, kebaikan, dan formal hukum. Artinya patologi sosial merupakan sesuatu yang tidak sesuai bahkan bertentangan dengan sesuatu yang telah umum dalam masyarakat.
Dalam teori patologi, masyarakat selalu berada dalam kondisi sakit atau tidak befungsi baik sebagian maupun secara keseluruhan. Masyarakat dikatakan sehat bila seluruh anggota masyarakat berfungsi dengan sempurna.
Jika terlihat dari luar masyarakat terlihat menjalankan fungsinya dengan sempurna. Tetapi kalau dilihat dari dalam masyarakat tidak menjalankan fungsinya dengan baik. Misalnya masyarakat dalam satu negara terlihat makmur, tapi di dalamnya terjadi banyak masalah.
Banyak fenomena patologi yang terjadi di Indonesia yang memerlukan perhatian khusus, baik yang bersifat sosial, budaya dan politik. Beberapa masalah yang dihadapi yaitu korupsi yang merajalela, ketidakpercayaan terhadap lembaga penegak hukum, krisis kepercayaan terhadap DPR, narkoba yang menjangkit, kemiskinan, kejahatan, kekerasan seksual dan berbagai masalah lainnya.
Kemiskinan dan pengangguran selalu menjadi bahan pembicaraan dari waktu ke waktu apalagi menjelang pemilu. Bahkan kemiskinan dijadikan sebagai alat untuk menciderai pemilu.
Banyak oknum yang memanfaatkan kemiskinan rakyat untuk memberikan uang (serangan fajar), bantuan sembako dari salah satu calon, atau bantuan yang lain untuk memenangkan salah satu calon. Padahal hal tersebut bertentangan dengan prinsip pemilu yaitu LUBER DAN JURDIL (Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur dan Adil).
Dengan adanya hal tersebut, kemerdekaan masyarakat untuk memilih pasangan calon menjadi tergadaikan. Padahal hal tersebut merupakan perilaku/perbuatan menyimpang, tidak sesuai dengan Undang-Undang Pemilu.
Selain itu lama kelamaan menyebabkan institusi masyarakat mengidap patologi sosial, karena tidak sesuai dengan sepeti yang telah disebutkan. Maka menjadi penting untuk tetap menjaga kewarasan masyarakat ketika masa pemilu.
Masyarakat Indonesia yang plural tentu saja menyimpan potensi perpecahan yang tinggi. Untuk mencegah hal itu terjadi maka organisasi sosial dibentuk oleh masyarakat.
Namun organisasi sosial juga tidak terlepas dari potensi disorganisasi sosial. Disorganisasi sosial sederhananya adalah gangguan pada pola dan mekanisme hubungan antar manusia/masyarakat.
Vembriarto (1984) membagi disorganisasi sosial menjadi dua macam, yaitu disorganisasi schismatik dan disorganisasi fungsional. Disorganisasi schismatik adalah disorganisasi yang terjadi apabila hubungan diantara kelompok sosial terpecah, sehingga terjadi konflik sosial. Sedangkan disorganisasi fungsional ialah disorganisasi terjadi apabila individu, kelompok, atau sistem dalam masyarakat tidak berfungsi secara wajar.
Mendekati pemilu peluang terjadinya disorganisasi sosial juga semakin besar. Hal ini bisa terjadi apabila dalam masyarakat terjadi (1) fomalisme yaitu dipertahankannya peraturan dan prosedur yang telah kehilangan artinya di masyarakat. (2) merosotnya unsur-unsur yang dianggap sakral dalam masyarakat seperti nilai sakral Pancasila dan UUD. (3) individualism, masyarakat hanya mementingkan kepentingan pribadinya. (4) saling tidak percaya, tidak percaya terhadap kelompok lain sebagai akibat dari individualisasi.
Dari keempat hal tersebut kita bisa membaca dari pengalaman sebelumnya bahwa pemilu seringkali dijadikan ajang untuk mencela, mengadu domba sesama anak bangsa.
Padahal hal tersebut tentunya sangat bertentangan dengan nilai-nilai sila dalam Pancasila dan UUD. Mulai dari agama, ras, suku sering dijadikan bahan kekuatan menyerang satu sama lain.
Maka dari itu untuk meminimalisir disorganisasi sosial mari jadikan pemilu tahun 2024 sebagai ajang untuk memilih putra putri terbaik bangsa, beradu gagasan demi perbaikan Indonesia. Dan yang tidak kalah penting adalah jadikan pemilu sebagai ajang untuk memperbaiki kondisi masyarakat menuju masyarakat adil Makmur yang diridhoi Allah SWT.
Penulis: Hanji Tamimul Bayan (Pengurus Himpunan Mahasiswa Islam)